Rabu, 10 Juni 2009

DARSONO

Darsono Si Panah Beracun 

Darsono berusia 19 tahun ketika bergabung dengan Sarekat Islam Semarang. Semuanya bermula ketika Darsono hadir dalam persidangan Sneevliet. Darsono begitu kagum kepada orang Belanda itu. Awalnya Darsono sempat ragu pada perjuangan Sneevliet membela rakyat. Begitu mengetahui Sneevliet bekerja di Kantor Dagang bergaji f 1.000 sebulan, Darsono semakin menaruh hormat pada pria Belanda pembebas kaum miskin Asia itu. Persidangan itu juga mempertemukan Darsono dengan Semaoen. Darsono diajak Semaoen bergabung dengan Sarekat Islam Semarang. Darsono yang melihat tidak ada jawaban atas pergulatan dirinya dalam Islam, Kristen maupun Budha, melainkan sosialisme. Sebuah dunia yang dia pilih untuk warnai masa mudanya.
Catatan sejarah atas diri Darsono sangat jauh dari cukup. Di diperkirakan 1897 tempat lahirnya tidak diketahui. Ayahnya seorang pegawai negeri, karenanya Darsono mampu mengenyam bangku sekolah. Darsono akrab dengan kehidupan petani karena pergaulanya dengan anak-anak petani ketika masih bocah.
Setamat dari sekolah pendidikan pertanian Darsono bekerja di perkebunan tebu. Sebuah tempat dimana dia melihat kemiskinan dan sistem sosial yang buruk. Selama bekerja, Darsono meluangkan waktunya dengan membaca buku-buku yang dia perolehnya. Masa itu kehidupan kuli-kuli perkebunan yang buruk menjadi hal biasa.
Setelah usahanya untuk belajar di Sekolah Dokter Hewan gagal, Darsono kembali ke Semarang. Sampai akhirnya hadir dalam persidangan Sneevliet dan bertemu Semaoen yang kemudian menempatkannya dalam redaksi Sinar Djawa mulai 27 Februari 1918 pada bagian telegram.
Menurut Darsono, rakyat Jawa masih bodoh. Untuk menyadarkannya diperlukan artikel-artikel yang berani. Tulisan yang terlalu ilmiah tidak akan dimengerti oleh rakyat yang umumnya tidak pernah sekolah. Orang yang berani lebih diperlukan dari pada orang yang terdidik dan pandai. Cara yang tepat menurut Darsono adalah hantam kromo bukancara intelektual.
Keterlibatan Darsono dan Mas Marso yang cenderung kiri di Sinar Djawa membuat beberapa orang pergerakan yang kurang radikal gerah. Sejak 28 Februari 1918 satu persatu anggota redaksi Sinar Djawa seperti Mohammad Joesoef, Aloei juga Martowidjojo keluar. SI cabang semarang semakin lama semakin radikal dan cenderung menyerang golongan moderatnya yang kebanyakan menduduki posisi kunci dalam SI, termasuk Darsono sendiri. 
Artikel Darsono adalah Giftige Waarheidspijlein (Pengadilan Panah Beracun) menulis: "Selama toemboeh-toemboehan bisa hidoep, SETAN OEANG, jang dengan rapi dilindoengi oleh pemerintah, soedah membikin sengsaranja ra'jat."

"Setan Oeang" istilah politik pada zaman pergerakan yang ditujukan kepada para pemilik modal atau pengusaha. Istilah ini mengacu pada segala bidang di mana modal dapat berkuasa, seperti pendidikan, perkebunan, ataupun pajak. Politik etis yang dicanangkan kaum etisi Belanda lebih banyak dimanfaatkan pemilik modal. Pengadaan sarana irigasi, edukasi dan migrasi lebih menguntungkan pemilik modal daripada memperbaiki kehidupan rakyat pribumi. Setiap perusahaan yang mengeksploitasi hasil bumi tanah Hindia tentunya hanya membutuhkan tenaga-tenaga murah. Tidak masuk akal bagi kaum pemilik modal mendatangkan tenaga kasar dari Eropa. Pastinya tenaga murah pribumi yang dibutuhkan oleh para pemilik modal alias Setan Oeang (kata Darsono).

Pemerintah kolonial hanya sebagai fasilitator dari "Setan Oeang". Banyak sekolah dibangun untuk menyediakan tenaga kerja murah yang dibutuhkan oleh pemilik modal untuk menggerakan produksi mereka di Hindia. Pemerintah telah mengadakan beberapa sekolah pribumi dengan kurikulum terbatas bagi rakyat pribumi calon buruh dari usaha milik Setan Oeang. Anak-anak pribumi jelata hanya dapat menikmati tweede klass (sekolah bumiputra klas dua tanpa bahasa Belanda) yang biasa disebut Sekolah Angka loro. Sebuah sekolah dengan masa belajarnya 3 tahun. Dimana mereka hanya dididik untuk bisa membaca, menulis dan berhitung. Lulusan macam inilah yang dibutuhkan oleh Setan Oeang. Darsono yang geram dengan kondisi semacam ini berkata:
"Djika saja berani membilangkan, bahwa hampir semoea sekolahan jang diadakan di Hindia sini tjuma boeat membesarkan keoentoengan setan oeang asing, itoelah sebenarnja djuga, itoelah boekan omong kosong. Sekolahan machinist boeat pabrik-pabrik atau spoor dan tram, kepoenjaan setan oeang asing. Sekolah opzichter begitoe djoega; sekolah dagang idem; opleiding school boeat ambtenaar idem; cultureschool di Soekaboemi idem; sekolah dokter setali tiga oeang, dan begitoe sebagainja .
Umumnya pengadaan sekolah berkualitas dengan standart yang mendekati Eropa oleh pemerintah kolonial hanya ditujukan kepada elit feodal. Pembatasan pendidikan non formal bagi rakyat pribumi melalui rapat-rapat umum dilarang Asisten Residen di kota Semarang. Pemerintah kolonial berupaya menutup rapat pintu kesadaran kaum kromo akan pentingnya pendidikan politik. Darsono bereaksi dengan kecamannya terhadap Asisten Residen Semarang:

" Pada tanggal 9 mei jang laloe di gedoeng Oost java bioscoop Semarang diadakan Openbare Vergadering oleh ISDV....idzin boeat itoe bermoela toean toean asistent resident dari kota Semarang mendjawab tidak boleh diadakan...kedoea...minta idzin lagi didjawab: boleh diadakan, akan tetapi orang jang terpeladjar dari kepala warga SI sadja jang boleh mengoendjoengi, sedang lain-lainnja orang masih bodo dilarang mendengarkan itoe vergadering....pengadjaran boeat ra,jat berdjalan begitoe pelan seperti keong (slak) dia maoe mengelarang si bodo boeat mendengarkan itoe vergadering jang dapat menambahkan kepandaian dan melebarkan pemandangannja".

Pemerintah kolonial enggan membuka sekolah-sekolah tinggi bagi kemajuan rakyat Hindia. Terlalu mahal bagi pemerintah kolonial untuk mendatangkan pengajar-pengajar dari Eropa yang bayarannya tinggi. Alasan lain yang lebih penting karena perkembangan modal tidak menuntut tenaga kerja bumiputra (yang murah) yang berpendidikan tinggi karena relatif masih bisa diatasi oleh orang Belanda sendiri yang terkadang didatangkan juga dari Negeri Belanda.
Bergabungnya Darsono dalam barisan kiri Sarekat Islam Semarang ikut mewarnai perjuangan kaum buruh di Hindia. Golongan kiri di Sarekat Islam Semarang inilah cikal-bakal PKI yang yang meneriakan kepentingan buruh-tani di Hindia. Ketika masih di SI cabang Semarang Darsono berusaha memperjuangkan keringanan pajak rakyat dan membebankan pajak yang lebih besar kepada kaum Setan Oeang. Masalah ini akan dibawa dalam Kongres Nasional Central Sarekat Islam ke-3 yang diadakan pada tanggal 29 September-6 Oktober 1918 di Surabaya.
Dengan uang yang dimiliki kaum Setan Oeang memaksa desa-desa menyewakan tanahnya untuk perkebuanan dengan memberikan premi tertentu kepada lurah-lurah. Sawah milik desa yang komunal yang sebelumnya dikelola oleh petani, dijadikan perkebunan dan menjadikan para penduduk sebagai kuli perkebunan. Dalam hal ini pemerintah lalai denngan nasib para petani ini. Lurah hanya menjadi bagian dari sistem saja dan membiarkan warganya sengsara. Semua ini tak lain untuk meningkatkan produksi gula. Pemerintah hanya bisa mendukung kemauan kaum Setan Oeang yang hanya mengeruk laba dari keringat tenaga pribumi dan kesuburan tanah Hindia..."
Serangan Darsono dalam Giftige Waarheidspijlein adalah serangan terhadap kebijakan-kebijakan kolonial terhadap rakyat tertindas di Hindia. Giftige Waarheidspijlein ditulis Darsono berdasar literatur yang pernah dibacanya. Salah satu bahan tulisan Darsono adalah Het Process Sneevliet (1917) yang menjadi bacaan wajib kaum pergerakan dan menjadi bacaan terlarang di sekolah-sekolah pemerintah. Tulisan Clive Day The Policy and Administration of the Deutch in Java (1904). Kedua bahan ini menjelaskan bahwa kemiskinan yang melanda mayoritas pribumi tidak terjadi tanpa sebab, tetapi memiliki proses sejarah yang panjang. Het Process Sneevliet menyatakan sumber kemiskinan dimulai oleh merkantilisme VOC (Vereniging Oost indische Compagnie, maskapai dagang Belanda terbesar di Nusantara sebelum abad XIX). Devide et Impera (politik pecah belah) VOC berlanjut dengan monopoli perdagangan dan pungutan pajak yang mencekik rakyat pribumi. Penguasa lokal dan bawahannya lebih banyak diam (mendukung) dan hampir semuanya hidup jauh dari derita yang dialami rakyatnya. Pemerintah kolonial tidak lebih dari panah beracun bagi kaum kromo yang miskin dengan kebijakan-kebijakan kolonialnya.
Karena tulisan dan kepemimpinannya, Darsono menjadi sosok yang menonjol dan menjadi orang penting kedua dalam kepemimpinan ISDV di Semarang. Kebiasaannya membaca buku menjadikan ahli dalam berteori di partai. Rivalitas Darsono dengan tokoh SI mapan macam Tjokroaminoto atau Abdoel Moeis bukan rahasia umum. Awal 1920 sebuah surat dari Komunis Internasional(Komintern) datang, isinya adalah menganjurkan bergabungnya ISDV dalam Komintern. Salah satu syaratnya adalah menggunakan nama terang partai komunis. Sebuah sidang yang panas dengan peserta 40 kemudian menerima peubahan nama tersebut. Perserikatan Komunis di Hindia pun lahir pada tanggal 20 Mei 1920. Inilah PKI generasi pertama yang juga terlibat dalam pergerakan nasional. Hanya saja perenan mereka kurang diakui sebagai kaum pergerakan.
Pada bulan Mei 1921 Ir Adolf Baars dibuang bersama Darsono keluar negeri. Dalam perjalanan, di Shanghai mereka bertemu Sneevliet yang menjadi wakil Komintern di Cina. Mereka lalu menuju Rusia. Ketika terjadi pemogokan besar-besaran di Jawa banyak tokoh-tokoh kiri ditangkap. Darsono berada diluar negeri ketika penangkapan itu terjadi. Hal ini membuat pemerintah kesulitan. Pada bulan November 1921 Darsono menghadiri Kongres Partai Komunis Belanda (Comunist Partij: CP) dan memberikan pidatonya. Darsono meminta diadakannya kerjasama antara PKI dengan CP.

Selama menjadi anggota PKI , Darsono pernah dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah) tahun 1929 oleh Partai Komunis Belanda. Darsono didaftar urutan 3 dan Tan Malaka didaftar urutan 2, namun keduanya tidak terpilih. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kunjungan dan pidatonya pada kongres CP November 1921 sebelumnya. Karenanya Darsono juga cukup populer di Belanda. Apalagi Darsono juga cukup teoritis dalam pergerakan. Walau begitu Semaun dan Darsono kemudian keluar dari PKI kendati mereka masih memihak kaum yang tertindas. Banyak juga tokoh PKI angkatan 1920an yang menghilang dari peredaran perpolitikan pasca kemerdekaan Indonesia.
Darsono mendedikasikan hidupnya membela kaum yang tertindas dengan melawan Setan Oeang. Darsono masih percaya kekuatan pena mampu mengalahkan pedang. Tulisannya Giftige Waarheidspijlein adalah sebuah pengadilan kepada pemerintah kolonial yang tidak peduli dengan nasib kaum kromo pribumi. Ciri khas Darsono dalam tulisannya adalah bahasanya yang berani. Baginya bahasa ilmiah tidak dipahami rakyat tertindas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar